get app
inews
Aa Text
Read Next : Update Korban Galodo Agam, 192 Orang Tewas dan 70 Hilang

Sejarah Perang Padri: Latar Belakang, Tokoh yang Terlibat dan Akhir Peperangan

Selasa, 16 Agustus 2022 - 07:10:00 WIB
Sejarah Perang Padri: Latar Belakang, Tokoh yang Terlibat dan Akhir Peperangan
Lukisan Perang Padri. (Wikipedia).

JAKARTA, iNews.id - Sejarah Perang Padri perlu diketahui. Awalnya disebabkan karena adanya perbedaan pandangan antara kaum Padri dengan kaum Adat, namun berubah menjadi kaum Padri melawan Pemerintah Belanda. 

Perang Padri berlangsung di Sumatera Barat dan sekitarnya terutama di kawasan Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838.

Latar Belakang Perang Padri

Perang Padri merupakan perang saudara yang pernah terjadi di Minangkabau, tepatnya di wilayah Kerajaan Pagaruyung yang kini termasuk Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Latar belakang sejarah Perang Padri berawal dari masalah agama (Islam) dan adat, sebelum penjajah Belanda ikut campur tangan.

Sejarah atau latar belakang Perang Padri dimulai pada tahun 1803 ketika tiga orang Minangkabau pulang dari Makkah setelah selesai menjalankan ibadah haji di tanah suci. Mereka dikenal dengan nama Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. 

Azyumardi Azra dalam The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern 'Ulama' in the Seventeenth and Eighteenth Centuries (2004), mengatakan bahwa ketiga haji ini awalnya berniat memperbaiki syariat Islam di Minangkabau yang belum sepenuhnya dijalankan. 

Seorang ulama bernama Tuanku Nan Renceh tertarik untuk mengikuti dan mendukung niat ketiga haji yang baru saja pulang dari tanah suci itu. Akhirnya, Tuanku Nan Renceh pun ikut bergabung serta mengajak orang-orang lain untuk mengikutinya. Mereka tergabung dalam kelompok bernama Harimau nan Salapan. 

Harimau nan Salapan meminta pemimpin Kesultanan Pagaruyuang (Pagaruyung), Sultan Arifin Muningsyah, serta kerabat kerajaan bernama Tuanku Lintau, untuk bergabung serta meninggalkan kebiasaan adat yang tidak sesuai dengan syariat Islam.

Yang Dipertuan Pagaruyung kurang menyetujui hal tersebut. Sultan Arifin Muningsyah masih tak ingin meninggalkan tradisi atau kebiasaan yang telah dijalankan secara adat sejak dulu di Minangkabau. 

Berdasarkan keterangan dari artikel dalam portal resmi Kabupaten Agam, Sumatera Barat, terdapat beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, seperti sabung ayam, judi, serta minum minuman keras, padahal masyarakat adat saat itu sudah banyak yang memeluk agama Islam. 

Kebiasaan ini sebenarnya tidak sesuai dengan mayoritas masyarakat Kaum Adat yang beragama Islam. Menanggapi hal ini, kaum Padri atau kelompok agamis terpaksa menggunakan cara keras untuk dapat mengubah kebiasaan itu sekaligus melaksanakan misi amar ma’ruf nahi mungkar.

Sebelum pertentangan ini terjadi, perundingan telah dilakukan antara Kaum Padri dengan Kaum Adat dan tidak menemukan kata sepakat, sehingga meskipun Kaum Adat sudah pernah berkata akan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan tersebut, tapi kenyataannya mereka tetap masih menjalankannya. 

Hal tersebut yang membuat Kaum Padri marah dan beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak. Perang Padri kemudian meletus sebagai perang saudara dan melibatkan Suku Minang dan Mandailing. Pada masa perang tersebut, Kaum Padri dipimpin oleh Harimau Nan Salapan sementara kaum Adat dipimpin Sultan Arifin Muningsyah.

Kronologi dan Tokoh yang Terlibat Perang Padri

Berbagai upaya yang dilakukan tak membuahkan hasil hingga akhirnya meletuslah perang pada tahun 1803. Puncak perang saudara ini terjadi pada tahun 1815, di mana Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung sehingga pecah peperangan di Koto Tangah. 

Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan, dan Kaum Padri berhasil menekan Kaum Adat. Saat itu Kaum Padri dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh, Tuanku Pasaman, Tuanku Rao, Tuanku Tambusai, Tuanku lintau, Tuanku Mansiangan, Tuanku Pandai Sikek, dan Tuanku Barumun yang merupakan tokoh terkemuka dari Harimau nan Salapan. 

Kepemimpinan Harimau nan Salapan hampir membawa Kaum Padri kepada kemenangan dalam perang ini. Kemudian pada tahun 1821 Kaum Adat yang terdesak meminta bantuan pada pemerintah Kolonial Belanda. Pada tanggal 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff berhasil memukul mundur Kaum Padri untuk keluar dari Pagaruyung.

Kemudian Belanda membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen, sedangkan Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau. Pada tanggal 10 Juni 1822 pergerakan pasukan Belanda di Tanjung Alam dihadang oleh Kaum Padri, namun pasukan Belanda dapat terus melaju ke Luhak Agam.

Pada tanggal 14 Agustus 1822 dalam pertempuran di Baso, yang membuat pemimpin pasukan Belanda yaitu Kapten Goffinet menderita luka berat kemudian meninggal dunia pada tanggal 5 September 1822.

Pada bulan September 1822 pasukan Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar karena terus mendapat serangan dari Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh.

Pada 13 April 1823, setelah mendapat tambahan pasukan maka Letnan Kolonel Raaff mencoba kembali menyerang Lintau. Namun Kaum Padri melakukan perlawanan dengan gigih, sehingga pada tanggal 16 April 1823 Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar.

Pada tahun 1824, raja terakhir Minangkabau yaitu Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, namun pada tahun 1825 beliau wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung. 

Pada 15 November 1825, disepakati Perjanjian Masang yaitu periode gencatan senjata yang disepakati antara pasukan Belanda dengan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol.

Pemerintah Hindia Belanda saat itu tengah kewalahan karena menghadapi berbagai perang baik di wilayah Eropa maupun Jawa yaitu Perang Diponegoro yang menguras dana pemerintah. Selama masa gencatan senjata inilah Tuanku Imam Bonjol yang merupakan salah satu pemimpin Kaum Padri mencoba mengajak kaum Adat untuk bersatu karena lawan yang sesungguhnya adalah penjajah Kolonial Belanda.

Gavin W. Jones dkk dalam Buku Muslim Non Muslim Marriage: Political and Cultural Contestations in Southeast Asia (2009) menuliskan bahwa perdamaian dan kesepakatan untuk bersatu antara kaum Padri dan kaum Adat akhirnya tercapai. 

Kesepakatan damai yang diadakan di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar, ini dikenal dengan nama "Plakat Puncak Pato".

Hasilnya adalah perwujudan konsensus bersama yakni Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah yang artinya adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, sedangkan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur'an.

Perang saudara yang berlangsung dari tahun 1803 hingga tahun 1821 yang telah merugikan kedua belah pihak baik harta maupun korban jiwa pun berakhir. 

Akhir Perang Padri

Setelah perang Diponegoro berakhir, kekuatan Belanda pun memulih dan kembali mencoba untuk menundukan Kaum Padri. Keinginan kuat Belanda untuk menguasai perkebunan kopi di kawasan pedalaman Minangkabau membuat mereka melanggar perjanjian yang telah dibuat sebelumnya dengan menyerang nagari Pandai Sikek.

Diketahui nagari Pandai Sikek merupakan daerah yang mampu memproduksi mesiu dan senjata api. Belanda juga membangun benteng Fort de Kock di Bukittinggi untuk memperkuat kedudukannya.

Pada tanggal 11 Januari 1833, Kaum Padri dan Kaum Adat yang telah bersatu melakukan penyerangan pada beberapa kubu pertahanan dari garnisun Belanda. Belanda yang menyadari keadaan telah berubah kemudian mengeluarkan "Plakat Panjang" berisi pernyataan bahwa kedatangan Belanda ke Minangkabau tidak bermaksud untuk menguasai nagari tersebut, melainkan untuk berdagang serta menjaga keamanan.

Sebagai alasan Belanda dalam menjaga keamanan, membuat jalan, membuka sekolah dan memerlukan biaya, maka penduduk setempat diwajibkan menanam kopi serta menjualnya kepada Belanda.

Perlahan-lahan Belanda menyusup dan melakukan penyerangan hingga pada tahun 1837 Benteng pertahanan Tuanku Imam Bonjol dapat dikuasai Belanda. Bahkan Tuanku Imam Bonjol berhasil ditipu dan ditangkap. Kemudian beliau diasingkan ke Cianjur, Ambon, lalu Minahasa hingga wafat di sana.

Peperangan berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum Padri di Dalu-Dalu (Rokan Hulu) yang dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh ke tangan Belanda pada tanggal 28 Desember 1838.

Perang Padri pun dianggap selesai dengan kemenangan jatuh ke pihak Kolonial Belanda, sementara Tuanku Tambusai bersama sisa-sisa pengikutnya terpaksa pindah ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya. Kerajaan Pagaruyung akhirnya menjadi bagian Pax Netherlandica di bawah kendali Hindia Belanda.

Dampak Perang Padri

Perang Padri yang berlangsung sekitar 20 tahun pertama perang yaitu tahun 1803 hingga tahun 1821 banyak memakan korban dari sesama Kaum Padri dan Kaum Adat yaitu orang Minangkabau dan Batak Mandailing.

Dampak yang langsung dirasakan setelah Perang Padri adalah jatuhnya Kerajaan Pagaruyung atau wilayah Sumatera Barat ke tangan Kolonial Belanda. 

Selain itu, Tuanku Imam Bonjol yang tak mau menyerah kepada Belanda harus ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat.

Dalam pengasingan tersebut Tuanku Imam Bonjol sempat dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado dan meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. 

Akan tetapi dampak Perang Padri bagi penduduk setempat adalah lahirnya persatuan para pemimpin tradisional dan agama.

Editor: Reza Yunanto

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya

iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut