Cerita Rakyat Malin Kundang, Legenda Fenomenal dari Sumatera Barat
JAKARTA, iNews.id - Cerita Rakyat Malin Kundang merupakan cerita rakyat yang sudah terkenal seantero Nusantara. Cerita rakyat ini berasal dari daerah Sumatera Barat (Sumatera Barat).
Bahkan, cerita ini banyak dikisahkan oleh para orang tua agar anaknya senantiasa berbakti serta tak durhaka kepadanya.
Alkisah dahulu kala ada seorang janda tua yang hidup di tepi pantai Air Manis bernama Mande Rubayah. Mande Rubayah hanya tinggal bersama sang anak laki-lakinya semata wayang yang bernama Malin Kundang.
Mande Rubayah sangat menyayangi anaknya tersebut dan begitu pula dengan Malin Kundang. Mereka saling menyayangi satu sama lain, dan saling menguatkan, karena hidup mereka hanya tinggal berdua saja.
Pada suatu hari, Malin Kundang jatuh sakit, Mande Rubayah panik tak tertolongkan. Bagaimana tidak, Malin menderita penyakit keras yang hampir merenggut nyawanya.
Ibunya yang hanya mengandalkan pekerjaan sebagai tukang kue keliling, kemudian memutar otak, untuk mencari cara bagaimana agar anaknya bisa sembuh. Sampai suatu ketika, usaha keras ibunya membuahkan hasil. Ibunya berhasil mendatangkan tabib terkenal dan mampu menyembuhkan Malin Kundang.
Usai sembuh dari penyakitnya, Malin dan ibu menjalani kehidupan seperti biasa hingga akhirnya suatu ketika, sebuah bahtera besar bersandar di Pantai Air Manis.
Dan waktu sandarnya pun cukup lama, dan Malin yang saat itu melihat bahtera tersebut sedang bersandar, langsung menghampiri ibunya.
Malin meminta izin kepada ibunya untuk pergi merantau. Tujuannya tak lain ingin memperbaiki kehidupannya serta ibunya.
Namun, sang ibu tidak mengizinkannya. Dia khawatir dengan kondisi Malin jika merantau ke negeri seberang. Dia bahkan menyarankan agar Malin tetap menemaninya di kampung.
Meski begitu, Malin tetap ngotot agar dirinya diizinkan untuk merantau dan ikut kapal yang bersandar tersebut. Dia berpikir hanya ini kesempatan satu-satunya agar bisa memperbaiki hidupnya.
Ibunya yang sudah tak bisa berkata-kata , akhirnya pun menyetujui permintaan Malin. Ibunya pun berpesan, agar ia berhati-hati di jalan dan lekas kembali ke kampung halaman.
Hari demi hari terus berlalu. Mande Rubayah selalu mendoakan yang terbaik untuk anaknya, dan juga berdoa agar anaknya segera kembali ke pangkuannya.
Tak henti-hentinya ia memandang luasnya samudera , baik pagi dan sore hari tak luput dari pandangannya. Ia selalu berharap ada kapal yang datang dan membawa anaknya pulang.
Sudah bertahun-tahun, tak ada kabar berita, pesan, ataupun titipan yang diberikan Malin pada sang ibunda. Ibunda yang tak pernah lelah mendoakan untuk kebaikan anaknya, selalu berpikir positif, Malin kelak akan kembali padanya.
Hingga suatu ketika, nahkoda yang membawa Malin dahulu membawa berita bahagia padanya. Dia memberitahu bahwa Malin telah menikah dengan seorang putri cantik anak dari bangsawan.
Mande Rubayah yang mendapat kabar gembira tersebut, langsung bergembira. Suatu hari, ada kapal besar yang datang menuju Pantai Air Manis.
Masyarakat mengira bahwa kapal yang datang tersebut adalah raja atau bangsawan, yang ingin berkunjung ke Pantai Air Manis, sehingga mereka menyambutnya dengan riang gembira.
Ketika kapal sudah mulai bersandar di pantai, terdapat sepasang laki-laki dan perempuan yang berdiri di anjungan kapal. Mande Rubayah pun berusaha masuk ke dalam kerumunan warga yang dekat dengan kapal. Mande Rubayah yakin bahwa pemuda yang datang tersebut adalah Malin Kundang, anaknya yang sudah lama di perantauan.
Saat pemuda itu sudah turun dari kapal, lantas Mande Rubayah langsung memeluk pemuda tersebut dengan erat. Dia tak memperdulikan dengan orang-orang yang mencibirnya, dia hanya ingin melepas rindu dengan sang buah hati.
Sayangnya, Malin tak percaya bahwa wanita tua yang berbusana compang camping itu adalah ibunya. Terlebih, ketika istrinya ini bertanya kebenaran tentang ibunya.
Ternyata, Malin berbohong ke istrinya sebelum keduanya menikah. Dia berkilah jika ibunya seorang bangsawan.
Malin yang mendengar perkataan tajam dari istrinya langsung mendorong ibunya hingga tersungkur ke pasir. Kemudian , dia memaki -maki dan menendang ibunya bagaikan seekor binatang.
Mande Rubayah tak percaya dengan perilaku kasar anaknya terhadap dirinya. Kemudian dia kembali menjelaskan pada Malin Kundang. Sambil menangis, dia terus bertanya kenapa dirinya berubah menjadi kejam.
Malin tentu tak mungkin mengakui ibunya di depan istrinya. Dia akan malu, karena dia telah membohongi istrinya, bahwa ibunya merupakan seorang bangsawan.
Malin tak memperdulikan omongan ibunya. Ketika ibunya bersujud dan memeluk kaki Malin, dia langsung menendang sang ibu dan berkata.
Kemudian , Mande Rubayah yang sakit hati akan omongan anaknya tersebut langsung jatuh pingsan. Dan setelah sadar, dia terbangun dan memandangi sekitar bahwa sudah tidak ada siapa-siapa dan kapal besar itu pun sudah tidak ada di dermaga.
Dia terdiam dan meratapi kepergian anaknya yang durhaka, langsung menangis sejadinya-jadinya. Mande Rubayah tak menyangka bahwa anaknya akan memperlakukan dirinya dengan amat kasar dan mengiris-iris hatinya.
Kemudian, ia menengadahkan tangan ke atas dia berucap dan meminta suatu kepada Tuhan. Dia meminta keadilan kepada Tuhan.
"Jika memang benar dia anakku, Malin Kundang. Tolong berikanlah keadilan pada hamba. Kutuklah dia menjadi batu," doa Mande Rubayah disertai tangis.
Seketika awan pun menjadi gelap. Hujan turun dengan lebat dan badai pun menghantam kapal milik Malin Kundang, dan istrinya.
Kemudian, kapal itu terhantam oleh ombak yang sangat dahsyat. Kapal yang ditumpangi Malin Kundang hancur. Puing-puing kapal pun terbawa hingga ke pantai, termasuk jasad dari Malin Kundang.
Kemudian tubuh Malin Kundang pun berubah menjadi kaku. Dan perlahan-lahan berubah menjadi batu, karena ia telah dikutuk oleh ibunya sendiri akibat durhaka terhadap surganya.
Itulah cerita rakyat Malin Kundang, cerita rakyat dari wilayah Sumatera Barat. Pesan moral yang bisa diambil yakni jangan sekali-kali kamu menyakiti dan mendurhakai orang tuamu, terutama ibumu. Dan jaga serta sayangi mereka selagi masih ada, dan jangan lupakan jasa dan kebaikan mereka selama ini.
Editor: Nur Ichsan Yuniarto