Cerita Warga saat Gempa Guncang Mentawai: Lari ke Bukit
PADANG, iNews.id - Gempa bumi magnitudo 7,3 yang mengguncang Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat (Sumbar) Selasa (25/4/2023) pagi menyisahkan cerita bagi warga Betaet, Desa Simalegi, Kecamatan Siberut Barat. Sebab, saat terjadi gempa mereka terpaksa berlari ke bukit untuk menyelamatkan diri.
Saat terjadi gempa, di Kepualauan Mentawai sedang turun hujan lebat. Namun, khawatir karena ada peringantan tsunami membuat warga rela berlarian menembus derasnya hujan dan dinginnya cuaca.
“Semua warga berlarian ke bukit, anak-anak, orang dewasa, lansia berlari ke bukit untuk menyelamatkan diri, kondisi saat gempa hujan lebat. Ada yang bawa tikar, selimut bahkan hewan peliharaan mereka seperti anjing pun diangkut,” kata Limin Sirilaulau salah satu warga Betaet yang mengungsi, Selasa.
Dia mengatakan, lokasi pengungsian di perbukitan itu ada tiga titik berupa rumah besar yang menampung 70 orang. Tapi karena yang mengungsi itu mencapai ratusan orang, tentu tidak bisa menampung warga yang mencapai ratusan orang itu. Tempat pengungsian yang dibangun NGO.
Sesampainya di lokasi pengungsia, ada warga yang duduk melepaskan lelah, dan ada yang berdiri.
“Tapi ada juga sebagian yang tidak sampai di lokasi pengungsian mereka bertahan di kaki bukit, tapi ada juga yang mengungsi ke lokasi perladangan mereka dengan melakukan evakuasi mandiri,” ujarnya.
Siang ini, kata dia, sebagian warga sudah kembali ke rumah tapi masih ada yang tinggal.
Mereka, sambungnya, yang pulang ke rumah itu untuk memasak makanan kemudian makanannya dibawa ke pengungsian. Lalu ada juga yang makan di rumah kemudian kembali ke pengungsian, selain itu mereka ke rumah melepaskan ternak.
“Masyarakat masih trauma gempa ini, apalagi pada hari Minggu sebelumnya gempa sempat mengguncang daerah kami, ditambah lagi ini lebih kuat lagi,” ujarnya.
Dengan padatnya masyarakat, dirinya pun berharap pemerintah setempat untuk membangun kapasitas pengungsian yang lebih besar lagi di atas bukit ini.
“Sekarang aja pengungsi bersesak-sesak, ada yang berdiri, duduk dan tidur karena masyarakat lelah setelah berlarian. Untuk ke lokasi ini harus naik tangga dari semen itu pun cukup tinggi,” katanya.
Saat terjadi gempa, kata dia, penerangan di Betaet juga padam, menambah kondisi masyarakat gelap-gelapan, serta tidak bisa melakukan komunikasi lewat fasilitas internet yang disiapkan pemerintah di puskesmas, desa dan sekolah.
“Sehingga kita kesulitan membagikan informasi, ini saja saya harus ke pantai untuk bisa mendapatkan sinyal memberi kabar kepada saudara kami. Sementara di Simalegi Utara dan Barat tidak bisa dihubungi di sana, akibat jaringan yang rusak,” ungkapnya.
Dia menyebut, di lokasi pengungsian yang ia tempati tidak ada korban jiwa, serta kerusakan bangunan termasuk fasilitas sekolah.
“Karena kita tinggal dekat sekolah, tidak nampak kerusakan bangunan. Serta tidak korban jiwa di lokasi pengungsian kita tapi kita tidak tahu di tempat lain,” katanya.
Editor: Candra Setia Budi