Profil dan Biodata Buya Hamka, Sastrawan dan Pahlawan yang Kecilnya Dikenal Nakal
Hamka kecil tinggal bersama anduang atau nenek dari ayahnya di Maninjau, mendengarkan pantun-pantun yang merekam keindahan alam Minangkabau, karena Haji Rasul sering bepergian untuk berdakwah. Saat 4 tahun, Malik mengikuti kepindahan orangtuanya ke Padang Panjang, belajar membaca Al-Qur'an dan bacaan salat di bawah bimbingan kakak tirinya.
Saat 7 tahun, Malik masuk ke Sekolah Desa. Sambil mengikuti pelajaran setiap pagi di Sekolah Desa, Malik mengambil kelas sore di Sekolah Diniyah. Kesukaannya di bidang bahasa membuatnya cepat sekali menguasai bahasa Arab. Ayahnya menyekolahkannya ke Thawalib di surau yang mewajibkan hafalan-hafalan kitab klasik seperti nahwu dan saraf, namun ia hanya tertarik dengan pelajaran arudh yang membahas tentang syair dalam bahasa Arab.
Hamka kecil juga terkenal nakal, karena sering mengganggu teman-temannya jika kehendaknya tidak dituruti. Karena gemar menonton film, Malik pernah bolos datang ke surau untuk mengintip film bisu yang sedang diputar di bioskop.
Buya Hamka saat berusia 21 tahun menikah dengan Sitti Raham yang berusia 15 tahun pada 5 April 1929. Raham ternyata masih kerabat ibunya, dari pernikahan ini Buya Hamka dikaruniai 12 anak, 2 di antara mereka meninggal saat masih balita. Setelah Raham meninggal dunia pada 1 Januari 1972, Hamka menikahi Sitti Khadijah asal Cirebon pada 19 Agustus 1973. Dan sampai Mei 2013, Hamka memiliki 31 cucu dan 44 cicit.
Buya Hamka bersekolah di Sekolah Desa dan Diniyah School saat kecil, ia juga belajar agama di Thawalib di Ujung Pandang namun tidak pernah tamat. Saat berusia 14 tahun, Hamka diantarkan ayahnya belajar mengaji kepada ulama Syekh Ibrahim Musa di Parabek, sekitar lima kilometer dari Bukittinggi.
Pada Juli 1924, Malik kembali merantau ke Jawa. Hamka menumpang di rumah Marah Intan sesama perantau Minang dan bertemu adik ayahnya, Jafar Amrullah di Yogyakarta. Pamannya membawa Hamka belajar tafsir Qur’an di tempat Ki Bagus Hadikusumo. Dari Ki Bagus, Malik mengenal Sarekat Islam dan bergabung menjadi anggota. Melalui kursus-kursus yang diadakan Sarekat Islam, Hamka banyak menerima ide-ide tentang gerakan sosial dan politik dari HOS Tjokroaminoto dan Suryopranoto.
Pada awal Februari 1927, Malik berangkat dari Pelabuhan Belawan menuju Jeddah, di sana ia bekerja sembari menimba ilmu.
Atas keilmuan, dedikasi dan berbagai karyanya, Buya Hamka mendapatkan sejumlah gelar kehormatan seperti dari Universitas al-Azhar dan Universitas Nasional Malaysia menganugerahkannya doktor kehormatan, sementara Universitas Moestopo mengukuhkan Hamka sebagai guru besar. Nama Hamka disematkan untuk Universitas Hamka milik Muhammadiyah dan masuk dalam daftar Pahlawan Nasional Indonesia.
Editor: Kuntadi Kuntadi