Sejarah Perang Padri: Latar Belakang, Tokoh yang Terlibat dan Akhir Peperangan
Seorang ulama bernama Tuanku Nan Renceh tertarik untuk mengikuti dan mendukung niat ketiga haji yang baru saja pulang dari tanah suci itu. Akhirnya, Tuanku Nan Renceh pun ikut bergabung serta mengajak orang-orang lain untuk mengikutinya. Mereka tergabung dalam kelompok bernama Harimau nan Salapan.
Harimau nan Salapan meminta pemimpin Kesultanan Pagaruyuang (Pagaruyung), Sultan Arifin Muningsyah, serta kerabat kerajaan bernama Tuanku Lintau, untuk bergabung serta meninggalkan kebiasaan adat yang tidak sesuai dengan syariat Islam.
Yang Dipertuan Pagaruyung kurang menyetujui hal tersebut. Sultan Arifin Muningsyah masih tak ingin meninggalkan tradisi atau kebiasaan yang telah dijalankan secara adat sejak dulu di Minangkabau.
Berdasarkan keterangan dari artikel dalam portal resmi Kabupaten Agam, Sumatera Barat, terdapat beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, seperti sabung ayam, judi, serta minum minuman keras, padahal masyarakat adat saat itu sudah banyak yang memeluk agama Islam.
Kebiasaan ini sebenarnya tidak sesuai dengan mayoritas masyarakat Kaum Adat yang beragama Islam. Menanggapi hal ini, kaum Padri atau kelompok agamis terpaksa menggunakan cara keras untuk dapat mengubah kebiasaan itu sekaligus melaksanakan misi amar ma’ruf nahi mungkar.
Sebelum pertentangan ini terjadi, perundingan telah dilakukan antara Kaum Padri dengan Kaum Adat dan tidak menemukan kata sepakat, sehingga meskipun Kaum Adat sudah pernah berkata akan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan tersebut, tapi kenyataannya mereka tetap masih menjalankannya.
Hal tersebut yang membuat Kaum Padri marah dan beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak. Perang Padri kemudian meletus sebagai perang saudara dan melibatkan Suku Minang dan Mandailing. Pada masa perang tersebut, Kaum Padri dipimpin oleh Harimau Nan Salapan sementara kaum Adat dipimpin Sultan Arifin Muningsyah.
Editor: Reza Yunanto