Sejarah Perang Padri: Latar Belakang, Tokoh yang Terlibat dan Akhir Peperangan
Pemerintah Hindia Belanda saat itu tengah kewalahan karena menghadapi berbagai perang baik di wilayah Eropa maupun Jawa yaitu Perang Diponegoro yang menguras dana pemerintah. Selama masa gencatan senjata inilah Tuanku Imam Bonjol yang merupakan salah satu pemimpin Kaum Padri mencoba mengajak kaum Adat untuk bersatu karena lawan yang sesungguhnya adalah penjajah Kolonial Belanda.
Gavin W. Jones dkk dalam Buku Muslim Non Muslim Marriage: Political and Cultural Contestations in Southeast Asia (2009) menuliskan bahwa perdamaian dan kesepakatan untuk bersatu antara kaum Padri dan kaum Adat akhirnya tercapai.
Kesepakatan damai yang diadakan di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar, ini dikenal dengan nama "Plakat Puncak Pato".
Hasilnya adalah perwujudan konsensus bersama yakni Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah yang artinya adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, sedangkan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur'an.
Perang saudara yang berlangsung dari tahun 1803 hingga tahun 1821 yang telah merugikan kedua belah pihak baik harta maupun korban jiwa pun berakhir.
Setelah perang Diponegoro berakhir, kekuatan Belanda pun memulih dan kembali mencoba untuk menundukan Kaum Padri. Keinginan kuat Belanda untuk menguasai perkebunan kopi di kawasan pedalaman Minangkabau membuat mereka melanggar perjanjian yang telah dibuat sebelumnya dengan menyerang nagari Pandai Sikek.
Diketahui nagari Pandai Sikek merupakan daerah yang mampu memproduksi mesiu dan senjata api. Belanda juga membangun benteng Fort de Kock di Bukittinggi untuk memperkuat kedudukannya.
Pada tanggal 11 Januari 1833, Kaum Padri dan Kaum Adat yang telah bersatu melakukan penyerangan pada beberapa kubu pertahanan dari garnisun Belanda. Belanda yang menyadari keadaan telah berubah kemudian mengeluarkan "Plakat Panjang" berisi pernyataan bahwa kedatangan Belanda ke Minangkabau tidak bermaksud untuk menguasai nagari tersebut, melainkan untuk berdagang serta menjaga keamanan.
Sebagai alasan Belanda dalam menjaga keamanan, membuat jalan, membuka sekolah dan memerlukan biaya, maka penduduk setempat diwajibkan menanam kopi serta menjualnya kepada Belanda.
Perlahan-lahan Belanda menyusup dan melakukan penyerangan hingga pada tahun 1837 Benteng pertahanan Tuanku Imam Bonjol dapat dikuasai Belanda. Bahkan Tuanku Imam Bonjol berhasil ditipu dan ditangkap. Kemudian beliau diasingkan ke Cianjur, Ambon, lalu Minahasa hingga wafat di sana.
Editor: Reza Yunanto